Friday 9 March 2012

Are We Happy?

Di beberapa postingan sebelumnya aku sudah sempat membahas tentang sebuah buku berjudul The Geography of Bliss. Dalam buku ini memang Indonesia tidak masuk di salah satu chapternya, tapi aku kaget saat awal membaca bagian Introduction-nya, ternyata Indonesia sempat di-mention dalam buku ini. Ingin tahu apa isinya?

"As a foreign correspondent for National Public Radio, I traveled to places such as Iraq, Afghanistan, and Indonesia: unhappy places." (Eric Weiner, The Geography of Bliss, 2008, p. 2)

Sambil membacanya, aku ikut bertanya dan merenung dalam hati, is it? Apakah benar Indonesia tempat yang tidak menyenangkan seperti yang disebutkan dalam buku itu? Aku mengingat-ingat kejadian dalam hidupku. Dikelilingi sebuah keluarga yang menyayangiku, bertemu teman-teman yang gila dan menyenangkan, kuliah di salah satu universitas (yang katanya) terbaik se-Indonesia. Canda, tawa, bahagia, syukur, rasanya tak pernah ada habisnya dalam hidupku. Apakah semua itu termasuk ke dalam kriteria 'unhappy' seperti yang dikatakan?

Aku tak tahu parameter apa yang digunakan oleh sang penulis dalam mendeskripsikan bahwa Indonesia itu adalah sebuah 'unhappy place', apalagi kalau disandingkan oleh Iraq dan Afghanistan. Hey, we aren't a war country, are we?

Membaca kalimat itu jadi membuat aku teringat oleh buku yang kubaca beberapa tahun lalu. Aku lupa apa bukunya dan siapa penulisnya, yang pasti sang penulisnya adalah orang asing yang datang ke Indonesia. Kurang lebih dia mengatakan begini; dia telah mengunjungi negara-negara lain yang punya masyarakat miskin. Dan mereka itu benar-benar nampak miserable. Dalam artian, sudah tidak ada uang, tidak ada kebahagiaan, dan seolah-olah semangat hidup menguap begitu saja. Tapi begitu dia datang ke Indonesia, meskipun dia melihat masyarakat miskin yang hidupnya menyedihkan, dia bisa merasakan perbedaan. Di Indonesia, meskipun miskin, orang-orangnya masih banyak yang tersenyum. Anak-anaknya masih bisa menikmati masa kecil, bermain di luar bersama teman-temannya, dan yang jelas mereka nampak bahagia.

Saat aku kembali pada buku yang kubaca dan memikirkan ulang, aku jadi penasaran tahun berapa penulisnya menuliskan buku ini. Disebutkan bahwa bukunya diterbitkan pada tahun 2008, dan aku langsung penasaran dengan apa yang terjadi di Indonesia pada tahun itu.

Hukuman mati Amrozi cs. dilaksanakan pada tahun 2008. Tepat saat buku ini diterbitkan. Aku berasumsi bahwa dia menulis buku ini beberapa tahun sebelumnya karena membutuhkan riset yang cukup panjang, dan aku menelusuri lagi apa yang terjadi di Indonesia pada tahun sebelum itu. Bom Bali II pada tahun 2005. Tsunami Aceh tahun 2004. Pengeboman Kedubes Australia tahun 2004. Pengeboman hotel J.W. Marriot tahun 2003. Bom Bali I tahun 2002.

Aku tersenyum maklum. Pantas saja penulisnya sampai hati menuliskan Indonesia sebagai 'unhappy place'. Karena kalau dilihat, kisaran tahun-tahun itu memang sedang masanya Indonesia menjadi 'sarang' terorisme. Pengeboman terjadi di mana-mana, ditambah bencana alam yang sering melanda, termasuk Tsunami Aceh yang menewaskan ribuan nyawa.

Pertanyaannya sekarang, di balik statement itu, are we really happy?

Kalau aku harus menjawabnya, jawabanku tentu saja ya. Apa yang bisa membuat kita tidak bahagia? Karena "saat demi saat begitu ajaib. Tanpa ditambah ide apapun, sudah begitu... sempurna." (Marina Silvia K., Back "Europe" Pack: Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dollar)

Jadi, apa jawabanmu?

No comments:

Post a Comment