Sunday 16 December 2012

Senja di Philip Island

Cerita ini juga dimuat di Reader's Digest Indonesia Website dan menjadi artikel pilihan editor periode keempat.



Pantai.

Mendengar satu kata itu terbayang debur ombak yang memecah di tengah lautan. Pasir-pasir halus yang tersapu air laut. Atau burung-burung yang beterbangan menuju sarangnya. Aku selalu mencintai pantai dan keindahannya. Dan awal tahun ini aku mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu pulau terbaik yang pernah aku kunjungi, yaitu Phillip Island, terletak di sebelah tenggara kota Melbourne, Australia.

Pukul lima sore aku berangkat. Dengan jarak tempuh sekitar 140 kilometer, butuh waktu sekitar dua jam untuk menuju ke sana menggunakan mobil. Aku pergi ke sana dengan seorang saudaraku yang sudah lama tinggal Melbourne. Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat laut terhampar, beradu dengan sinar matahari sore yang memantulkan sinar di permukaannya.

Untuk memasuki area Phillip Island, mobil kami harus menyebrangi jembatan sepanjang sekitar 1 kilometer yang menghubungkan area Phillip Island yang terpisah dari daratan Australia. Pulau yang cukup luas ini memiliki berbagai macam tempat wisata dan kegiatan yang berhubungan dengan alam, mulai dari pantai, area surfing, kemping, bersepeda, hingga melihat-lihat kekayaan alam Australia. Di Phillip Island juga, kita bisa menemukan Penguin yang pulang ke sarangnya pada saat senja tenggelam. Undeniably cute!

Walau Phillip Island memiliki banyak pantai, seperti Shelley Beach, Summerland Point, dan Woolamai, waktu itu aku hanya mengunjungi dua tempat selama berada di sana, yaitu The Nobbies dan Penguin Parade karena tujuan utamaku memanglah untuk melihat Penguin. The Nobbies terletak di sebelah ujung barat pulau Phillip, merupakan sebuah tanjung yang langsung menghadap laut. The Nobbies memiliki kontur yang berbukit-bukit dan memiliki boardwalks yang membawa wisatawan berjalan-jalan di sekitar. Karena di antara bukit-bukit tersebut, terdapat banyak sarang Penguin dan burung pantai! Langsung deh, aku menjepret kamera begitu sang Penguin kecil muncul dari sarangnya. Dan di bawah bukit tersebut, terhampar langsung laut yang ombaknya memecah di antara batu karang. Begitu romantis, apalagi di kala sunset dan ditemani sang pacar (yang sayangnya tidak pada saat itu).

Sekitar pukul delapan malam (which is, yang masih sangat terang benderang karena pada musim panas matahari tenggelam pada pukul 9 malam), aku dan saudaraku beranjak menuju Penguin Parade. Di Penguin Parade, kami membeli tiket “khusus” untuk menonton para Penguin yang baru pulang dari laut setelah berburu ikan. Biasanya mereka muncul pada saat sunset dan datang berombongan memasuki sarangnya. Sayang, kami tidak diizinkan untuk menangkap gambar apa-apa selama di sana, tidak juga dengan kamera HP.

Kami berdua duduk di sebuah tribun yang langsung menghadap ke pantai, persis seperti orang yang mau menonton konser. Di samping kanan-kiri kami banyak turis yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Sekeluarga tulis Latin duduk di depan kami, sementara di samping kami sepasang suami-istri berwajah Asia Timur duduk dengan mesranya.

Aku menatap jauh garis cakrawala di depan. Angin yang berembus semakin lama semakin kencang hingga aku harus merapatkan jaket. Bahkan aku men-double-nya dan angin masih saja ganas menusuk tulang-tulangku. Pada saat itulah aku merasa seperti sedang benar-benar sendiri.

Aku menatap garis cakrawala itu, menyadari bahwa tempatku berasal ribuan mil jauhnya berada di baliknya. Aku membayangkan hangatnya suasana rumahku saat itu, di mana aku biasanya bertemu orang-orang yang aku cintai. Sekarang, aku berada di sini. Kedinginan dan sendiri. Di sebuah tempat asing yang tak kukenal sama sekali. Indah... Namun terasa menyakitkan. Aku merasa seperti ada yang hilang. Aku seperti kehilangan kebahagiaanku. Ketika melihat orang-orang di sekitarku bersama orang-orang terkasihnya, aku justru berada sangat jauh dari mereka semua. Aku harap aku bisa menemukannya. Menemukan mereka dalam sekejap mata.

Dan di saat matahari tergelincir di ufuk barat, di saat rombongan Penguin berpulang ke sarangnya, aku menyadari sesuatu yang membuat mataku terasa panas. Aku ingin pulang. Ke tempat di mana orang-orang yang kucintai berada.

Senja di Phillip Island ini membuatku belajar bahwa, tak peduli seindah apa pun tempat yang kukunjungi, tempat terindah adalah tempat di mana aku hidup bersama orang-orang yang kucinta. Seperti Penguin yang sepanjang hari berburu ikan di laut, pada akhirnya mereka akan kembali ke sarangnya masing-masing bersama sesamanya yang mereka kasihi.