Sunday 11 March 2012

"Membaca" Afghanistan

Kali ini aku akan membahas tentang buku-buku yang bertemakan negeri Afghanistan. Yap! Afghanistan. Negeri di Timur Tengah yang sarat akan konflik dan peperangan. Dan cerita-cerita dalam buku ini merefleksikan keadaan negeri tersebut melalui media kalimat dan kata-kata, membawa kita seolah-olah ikut ke dalamnya.

The Kite Runner

"In the end, the world always wins. That's just the way of things."


"Sad stories make good books."

Siapa yang tidak tahu buku bestseller ini? Buku ini merupakan buku pertama berbahasa Inggris yang ditulis oleh seorang keturunan Afghan. Menceritakan tentang negeri Afghanistan pada masa pemerintahan Taliban dan konflik antarsuku yang terjadi. Buku ini sarat akan nilai historis, nilai moral, dan juga nilai-nilai kemanusiaan.

Selimut Debu

"Di sini semua mahal, yang murah cuma satu: nyawa manusia."

Selimut Debu adalah satu dari beberapa buku yang membuat aku nggak ingin habis membacanya. Sang penulis, Agustinus Wibowo, tidak hanya melihat Afghanistan dari hanya permukaannya saja, tetapi juga ikut menyelami nilai-nilai budayanya, dan tentu saja turut dalam penderitaan masyarakatnya. Pengalamannya menjelajahi berbagai kota di Afghanistan membuat aku berdecak kagum; ternyata ada banyak hal yang tidak aku ketahui. Tentang surga yang tenang di tengah-tengah badai perang. Tentang berita pengeboman yang sudah menjadi makanan sehari-hari dan hanya menjadi angin lalu tak lama setelah ditayangkan. Tentang wanita-wanita Afghan yang dihormati sedemikian rupa hingga menyebut namanya saja menjadi sebuah bentuk penghinaan... Afghanistan dan misteri, mungkin itu memang sebuah padanan kata yang pas.

Shooting Kabul

"Bad things happen to good people."

Tinggal di sebuah negara superpower di saat negaranya berada dalam keadaan darurat mungkin menjadi jalan terbaik yang dipilih oleh keluarga Fadi, tokoh utama ini. Namun, bagaimana kalau ternyata salah satu anggota keluarga mereka 'tertinggal' di malam saat mereka 'kabur'? Jalan yang ditempuh menjadi sebuah simalakama. Keluarga Fadi harus tetap melanjutkan perjalanan apabila tidak ingin ditangkap oleh Taliban. Namun pergi dengan meninggalkan anggota keluarganya yang terkecil di tengah negara perang sendirian, di bawah rezim otoriter? Fadi memiliki cara sendiri untuk membawa adiknya kembali pulang bertemu keluarganya.

Friday 9 March 2012

Are We Happy?

Di beberapa postingan sebelumnya aku sudah sempat membahas tentang sebuah buku berjudul The Geography of Bliss. Dalam buku ini memang Indonesia tidak masuk di salah satu chapternya, tapi aku kaget saat awal membaca bagian Introduction-nya, ternyata Indonesia sempat di-mention dalam buku ini. Ingin tahu apa isinya?

"As a foreign correspondent for National Public Radio, I traveled to places such as Iraq, Afghanistan, and Indonesia: unhappy places." (Eric Weiner, The Geography of Bliss, 2008, p. 2)

Sambil membacanya, aku ikut bertanya dan merenung dalam hati, is it? Apakah benar Indonesia tempat yang tidak menyenangkan seperti yang disebutkan dalam buku itu? Aku mengingat-ingat kejadian dalam hidupku. Dikelilingi sebuah keluarga yang menyayangiku, bertemu teman-teman yang gila dan menyenangkan, kuliah di salah satu universitas (yang katanya) terbaik se-Indonesia. Canda, tawa, bahagia, syukur, rasanya tak pernah ada habisnya dalam hidupku. Apakah semua itu termasuk ke dalam kriteria 'unhappy' seperti yang dikatakan?

Aku tak tahu parameter apa yang digunakan oleh sang penulis dalam mendeskripsikan bahwa Indonesia itu adalah sebuah 'unhappy place', apalagi kalau disandingkan oleh Iraq dan Afghanistan. Hey, we aren't a war country, are we?

Membaca kalimat itu jadi membuat aku teringat oleh buku yang kubaca beberapa tahun lalu. Aku lupa apa bukunya dan siapa penulisnya, yang pasti sang penulisnya adalah orang asing yang datang ke Indonesia. Kurang lebih dia mengatakan begini; dia telah mengunjungi negara-negara lain yang punya masyarakat miskin. Dan mereka itu benar-benar nampak miserable. Dalam artian, sudah tidak ada uang, tidak ada kebahagiaan, dan seolah-olah semangat hidup menguap begitu saja. Tapi begitu dia datang ke Indonesia, meskipun dia melihat masyarakat miskin yang hidupnya menyedihkan, dia bisa merasakan perbedaan. Di Indonesia, meskipun miskin, orang-orangnya masih banyak yang tersenyum. Anak-anaknya masih bisa menikmati masa kecil, bermain di luar bersama teman-temannya, dan yang jelas mereka nampak bahagia.

Saat aku kembali pada buku yang kubaca dan memikirkan ulang, aku jadi penasaran tahun berapa penulisnya menuliskan buku ini. Disebutkan bahwa bukunya diterbitkan pada tahun 2008, dan aku langsung penasaran dengan apa yang terjadi di Indonesia pada tahun itu.

Hukuman mati Amrozi cs. dilaksanakan pada tahun 2008. Tepat saat buku ini diterbitkan. Aku berasumsi bahwa dia menulis buku ini beberapa tahun sebelumnya karena membutuhkan riset yang cukup panjang, dan aku menelusuri lagi apa yang terjadi di Indonesia pada tahun sebelum itu. Bom Bali II pada tahun 2005. Tsunami Aceh tahun 2004. Pengeboman Kedubes Australia tahun 2004. Pengeboman hotel J.W. Marriot tahun 2003. Bom Bali I tahun 2002.

Aku tersenyum maklum. Pantas saja penulisnya sampai hati menuliskan Indonesia sebagai 'unhappy place'. Karena kalau dilihat, kisaran tahun-tahun itu memang sedang masanya Indonesia menjadi 'sarang' terorisme. Pengeboman terjadi di mana-mana, ditambah bencana alam yang sering melanda, termasuk Tsunami Aceh yang menewaskan ribuan nyawa.

Pertanyaannya sekarang, di balik statement itu, are we really happy?

Kalau aku harus menjawabnya, jawabanku tentu saja ya. Apa yang bisa membuat kita tidak bahagia? Karena "saat demi saat begitu ajaib. Tanpa ditambah ide apapun, sudah begitu... sempurna." (Marina Silvia K., Back "Europe" Pack: Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dollar)

Jadi, apa jawabanmu?

Saturday 3 March 2012

The Geography of Bliss oleh Eric Weiner

Buku ini aku temukan di salah satu pojok diskonan di toko buku Periplus, PIM. Cukup memuaskan harganya, 15.000 dari harga aslinya yang 80.000. Dan isinya, tentu saja lebih memuaskan.



Buku ini bukan hanya berkisah tentang traveling, mempelajari kebudayaan dan masyarakatnya saja. Tapi penulisnya menulis 'lebih' dari dari itu dalam buku ini. Dia ingin menemukan arti "kebahagiaan" yang berbeda di setiap negara yang dikunjungi. Dia berinteraksi dengan masyarakatnya, mempelajari adat istiadatnya, dan tidak lupa bagaimana mereka mendefinisikan sebuah "kebahagiaan" yang ternyata sangat beragam.

Aku sendiri sebenarnya belum selesai membaca buku ini, tapi gatal banget pengen berbagi. Di buku ini penulisnya berkisah di sepuluh negara yang berbeda. Negara-negara yang sudah aku baca ada Iceland, Qatar, Bhutan, Belanda, dan Swiss. Lucu, saat menemukan fakta baru di negara-negara tersebut yang sebelumnya tak pernah aku tahu. Misalnya di Belanda, di sana ada seorang professor yang mengadakan penelitian tentang "kebahagiaan". Disebutkan bahwa orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan yang single, orang yang menikah dan tidak memiliki anak lebih bahagia dibandingkan yang memiliki, orang kaya lebih bahagia dari orang miskin. Lucunya, definisi kebahagiaan tersebut ternyata bisa dihitung dan distatistikan oleh angka-angka.

Berbeda lagi dengan di Qatar. Ada sebuah kutipan lucu yang dituliskan oleh sang penulis. "I read somewhere that Qatar is 98.09 percent desert. I wonder what the other 1.91 percent is. Mercedes, perhaps." Karena masyarakat Qatar pada umumnya telah memiliki kehidupan yang layak. Memiliki servants, tidak perlu bayar pajak, bahkan mereka tidak perlu convenient stores karena hidup mereka sudah convenient enough.

Intinya, buku ini adalah bacaan wajib bagi pecinta traveling atau pecinta buku traveling. Kita tidak hanya diajak melihat hal-hal yang baik dan menyenangkan saja, tetapi juga diajak untuk lebih menyelami kehidupan itu sendiri sehingga akhirnya menemukan apa arti kebahagiaan yang sebenarnya.