Cerita ini juga dimuat di Reader's Digest Indonesia Website dan menjadi artikel pilihan editor periode keempat.
Pantai.
Mendengar satu kata itu terbayang debur ombak yang
memecah di tengah lautan. Pasir-pasir halus yang tersapu air laut. Atau
burung-burung yang beterbangan menuju sarangnya. Aku selalu mencintai
pantai dan keindahannya. Dan awal tahun ini aku mendapat kesempatan
untuk mengunjungi salah satu pulau terbaik yang pernah aku kunjungi,
yaitu Phillip Island, terletak di sebelah tenggara kota Melbourne,
Australia.
Pukul lima sore aku berangkat. Dengan jarak tempuh
sekitar 140 kilometer, butuh waktu sekitar dua jam untuk menuju ke sana
menggunakan mobil. Aku pergi ke sana dengan seorang saudaraku yang sudah
lama tinggal Melbourne. Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat laut
terhampar, beradu dengan sinar matahari sore yang memantulkan sinar di
permukaannya.
Untuk memasuki area Phillip Island, mobil kami
harus menyebrangi jembatan sepanjang sekitar 1 kilometer yang
menghubungkan area Phillip Island yang terpisah dari daratan Australia.
Pulau yang cukup luas ini memiliki berbagai macam tempat wisata dan
kegiatan yang berhubungan dengan alam, mulai dari pantai, area surfing,
kemping, bersepeda, hingga melihat-lihat kekayaan alam Australia. Di
Phillip Island juga, kita bisa menemukan Penguin yang pulang ke
sarangnya pada saat senja tenggelam. Undeniably cute!
Walau
Phillip Island memiliki banyak pantai, seperti Shelley Beach, Summerland
Point, dan Woolamai, waktu itu aku hanya mengunjungi dua tempat selama
berada di sana, yaitu The Nobbies dan Penguin Parade karena tujuan
utamaku memanglah untuk melihat Penguin. The Nobbies terletak di sebelah
ujung barat pulau Phillip, merupakan sebuah tanjung yang langsung
menghadap laut. The Nobbies memiliki kontur yang berbukit-bukit dan
memiliki boardwalks yang membawa wisatawan berjalan-jalan di sekitar.
Karena di antara bukit-bukit tersebut, terdapat banyak sarang Penguin
dan burung pantai! Langsung deh, aku menjepret kamera begitu sang
Penguin kecil muncul dari sarangnya. Dan di bawah bukit tersebut,
terhampar langsung laut yang ombaknya memecah di antara batu karang.
Begitu romantis, apalagi di kala sunset dan ditemani sang pacar (yang
sayangnya tidak pada saat itu).
Sekitar pukul delapan malam
(which is, yang masih sangat terang benderang karena pada musim panas
matahari tenggelam pada pukul 9 malam), aku dan saudaraku beranjak
menuju Penguin Parade. Di Penguin Parade, kami membeli tiket “khusus”
untuk menonton para Penguin yang baru pulang dari laut setelah berburu
ikan. Biasanya mereka muncul pada saat sunset dan datang berombongan
memasuki sarangnya. Sayang, kami tidak diizinkan untuk menangkap gambar
apa-apa selama di sana, tidak juga dengan kamera HP.
Kami berdua
duduk di sebuah tribun yang langsung menghadap ke pantai, persis seperti
orang yang mau menonton konser. Di samping kanan-kiri kami banyak turis
yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Sekeluarga tulis Latin
duduk di depan kami, sementara di samping kami sepasang suami-istri
berwajah Asia Timur duduk dengan mesranya.
Aku menatap jauh garis
cakrawala di depan. Angin yang berembus semakin lama semakin kencang
hingga aku harus merapatkan jaket. Bahkan aku men-double-nya dan angin
masih saja ganas menusuk tulang-tulangku. Pada saat itulah aku merasa
seperti sedang benar-benar sendiri.
Aku menatap garis cakrawala
itu, menyadari bahwa tempatku berasal ribuan mil jauhnya berada di
baliknya. Aku membayangkan hangatnya suasana rumahku saat itu, di mana
aku biasanya bertemu orang-orang yang aku cintai. Sekarang, aku berada
di sini. Kedinginan dan sendiri. Di sebuah tempat asing yang tak kukenal
sama sekali. Indah... Namun terasa menyakitkan. Aku merasa seperti ada
yang hilang. Aku seperti kehilangan kebahagiaanku. Ketika melihat
orang-orang di sekitarku bersama orang-orang terkasihnya, aku justru
berada sangat jauh dari mereka semua. Aku harap aku bisa menemukannya.
Menemukan mereka dalam sekejap mata.
Dan di saat matahari
tergelincir di ufuk barat, di saat rombongan Penguin berpulang ke
sarangnya, aku menyadari sesuatu yang membuat mataku terasa panas. Aku
ingin pulang. Ke tempat di mana orang-orang yang kucintai berada.
Senja
di Phillip Island ini membuatku belajar bahwa, tak peduli seindah apa
pun tempat yang kukunjungi, tempat terindah adalah tempat di mana aku
hidup bersama orang-orang yang kucinta. Seperti Penguin yang sepanjang
hari berburu ikan di laut, pada akhirnya mereka akan kembali ke
sarangnya masing-masing bersama sesamanya yang mereka kasihi.