Saturday, 25 August 2012

Seribu

Setengah berlari, aku melepaskan tas lusuh yang kusampirkan dan membantingnya begitu saja ke atas kursi. Tas tersebut adalah milik ayah yang beliau turunkan kepadaku. “Masih bisa dipakai,” katanya, meski telah bolong di sana-sini dan terpaksa ditambal berkali-kali.

Rumah masih terasa lengang. Ayah masih betah di sawah, sementara adikku si Aski badung itu pasti sedang mementas layangan di lapangan. Meskipun begitu, tetap saja rumah ini terasa sesak. Rumah yang sangat pantas untuk disebut gubuk ini hanya memiliki 3 ruangan utama: kamar keluarga, ruang tamu, merangkap dapur dan ruang makan, kamar Bapak dan Ibu, dan kamarku dan Aski. Tak ada jendela-jendela besar seperti milik orang gedongan, yang ada hanyalah lubang ventilasi lembab untuk sekedar mengintip dunia luar.

“Pelan-pelan loh, Nduk,” Ibu yang sedang menjahit di meja kerjanya mengomentariku. Tangan dan kakinya anteng menggerak-gerakkan mesin jahit tuanya yang usang. Aku tidak mengindahkan ceramah beliau kali ini. Aku bergegas menuju kamar dan mempersiapkan diri.

Setelah lulus sekolah hampir setahun yang lalu, tetes demi tetes keringat kucurahkan agar mimpiku tidak hanya berhenti sampai di sini. Tidak hanya berhenti sebagai kuli panggul yang pekerjaannya tiap hari menggotong karung beras. Tidak hanya sekedar memiliki ijazah SMA yang tertumpuk debu di lemari. Biar miskin begini, jangan salah, aku adalah salah satu lulusan terbaik sekolahku tahun lalu. Hanya saja nasib memang membenturku karena lembaran sakti yang harus dengan susah payah kukumpulkan demi bisa meneruskan sekolah: uang.

Satu tahun sudah cukup kuhabiskan membanting tulang, merendahkan kepalaku di hadapan orang-orang, dan menjadi kacung yang bisa dioper ke sana ke mari. Hari ini sudah kucukupkan semua itu. Aku tak mau lagi menjadi orang rendahan. Aku tak pernah merasa terhina hanya karena aku miskin. Tetapi aku terhina jika aku bodoh.

Hidup di desa terpencil yang jauh dari peradaban bukan halangan untuk membuka duniaku menjadi lebih lebar. Di saat banyak teman-temanku yang putus sekolah dan berakhir menjadi kacung seperti orang tuanya, aku bersikukuh untuk menamatkan SMA-ku meski aku harus menambah beban kedua orang tuaku. Di saat banyak orang yang masih terbelenggu dari dunia selain desa Tegalgundul yang bahkan di peta pun tak nampak, aku berusaha mencari akses agar aku bisa mengintip dunia luar yang dikatakan banyak orang itu mahaluas.

Internet. Aku mengenal istilah internet beberapa bulan lalu dari Pak Kepala Desa saat aku berkunjung ke kantornya. Kebetulan Pak Ahmad—namanya—adalah kenalan Bapak semenjak beliau masih kecil. Mereka berdua dulu adalah teman sepermainan dan sering mementas layangan bersama. Keadaan ekonomi keluarganya yang cukup berada mengantarkannya menjadi kepala desa, sementara ayahku tetap menjadi seorang petani miskin yang hanya bisa menghidupi keluarga kecilnya.

Satu bulan yang lalu, saat aku sedang bosan dan bermain ke kantornya Pak Ahmad, beliau meminjamkanku komputernya dan membiarkanku memenuhi hasratku akan rasa ingin tahu tentang dunia luar. Kantor Pak Ahmad adalah satu-satunya bangunan yang bisa dikatakan “beradab” di desa ini. Tembok semennya bersinar dicat berwarna putih, lantainya mengilap yang selalu dipel setiap hari, dan perabotnya tertata rapi di dalam ruangan. Jauh berbeda dengan rumah bambu kami yang usang.

Kota besar... Jalan raya... Sekolah... Universitas... Anganku melayang-layang, membayangkan dunia utopis di luar sana. Dunia fana yang kadang membuat terlena, namun sudah kurindukan untuk berjumpa. Hingga kutemukan sebuah informasi tentang pendaftaran mahasiswa baru di salah satu universitas negeri ternama.
Inilah kesempatanku. Seolah ada secercah sinar harapan yang menyergap, bergegas aku kembali ke rumah mengendarai sepeda ontel Bapak, warisan dari Mbah dan Mbah Buyut dari zaman perang, kata beliau. Mau benar atau tidak, pokoknya sepeda ini dengan secepat kilat mengantarkanku kembali ke rumah. Secepat kilat mengantarkan informasi itu ke telinga Bapak.

Sesuai dugaanku wajah Bapak merengut dan alisnya naik satu. “Sekolah? Kan kamu sudah tamat sekolah,” jawab Bapak tak acuh sambil menyeruput kopinya.

“Maksudku, aku pengen kuliah, Pak,” balasku, tak merasa terintimidasi oleh nada keraguannya.

“Kuliah?” suara Bapak mulai meninggi. “Kuliah opo thok, Fri. Kamu kira di kampung ini punya tempat kuliah seperti yang kamu bilangin itu?”

“Makanya aku pengen ke Jakarta, Pak,” jawabku lirih, bukan karena takut emosi Bapak akan meledak, tetapi karena tidak ingin Ibu mendengar suara Bapak yang marah-marah.

“Jakarta?” Bapak bertanya lagi, seolah semakin tidak mengerti dengan omonganku yang ngawur. Beliau meletakkan cangkir kopinya di atas meja dan menatapku lekat-lekat. “Wis, jangan ngimpi loh, Fri. Mendingan kamu kerja sana, cari duit, biar bisa makan . . .” Bapa bangkit bersiap meninggalkanku sebelum aku sempat membalas.

“Pak!” aku memanggilnya sebelum Bapak masuk ke kamar. Bapak berbalik dan kutatap mata bingungnya. “Afri serius pengen kuliah, Pak.”

Bapak kembali mendekat dan berdiri di hadapanku. Mata sayunya itu telah menunjukkan perjalanannya selama ini, kepedihannya, ketegasan di balik sikapnya, bahkan kelembutan yang tersirat dari sorot matanya bisa kulihat secara bersamaan.

“Fri, orang kecil seperti kita ini gak perlu mimpi muluk-muluk . . .” suara Bapak berubah merendah, dengan nada halus yang jarang sekali kudengar. “Kalau kamu mau jadi kepala desa seperti Pak Ahmad, atau jurangan beras seperti Engko Liam, Bapak dukung. Jangan, jangan mimpi kejauhan, Nduk, Bapak takut kamu jatuh,” Bapak menggelengkan kepalanya sambil menepuk pundakku pelan.

Lampu minyak yang remang-remang menerangi wajah Bapak menyadarkanku bahwa Bapak hanya mau membawaku dalam kenyataan yang ada. Potret kehidupan kami yang selama turun-temurun diwariskan. Potret sebuah keluarga petani miskin yang hanya bisa menghabiskan harinya dengan bermimpi. Bermimpi punya lahan yang luas. Bermimpi punya hasil panen yang banyak. Bermimpi bisa memiliki uang berlimpah. Bahkan sampai mimpi-mimpi sesederhana itupun tak jua dapat terlaksana. “Kita ini emang udah ditakdirkan melarat. Mbahmu, Mbah Buyutmu, Mbah Mbah Buyutmu, semuanya melarat, Nduk!”

Aku takkan melupakan kata-kata Bapak tempo dulu saat aku berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Kegigihanku akhirnya meluruhnya sifat keras Bapak. Namun, empat tahun kemudian, kata-kata yang sama meluncur lagi dari bibir Bapak, memupuskan harapanku untuk yang kedua kalinya. Takdir yang membuat kami semua melarat. Takdir yang akan membuat anak-anakku, cucuku kelak akan ikut merasakannya.

Tidak, aku tak mau seperti itu.

“Pak,” aku mengangkat kepalaku, seolah menantang Bapak bahwa ucapannya itu tidak benar. “Afri akan sekolah dengan biaya Afri sendiri, Pak.”

Sekejap mata Bapak nampak bingung, melecehkan, namun juga ada sorot bangga dalam tatap matanya itu. Perlahan tangannya itu turun dari bahuku, membenarkan kembali letak pecinya sebelum dia berbalik membelakangiku. Ucapanku itu membuat jalan Bapak sempoyongan, seolah ada beban berat yang mendudukinya.

Sebelum beliau menyibakkan tirai kamarnya, Bapak menatapku dengan tatapan nanar, “Kamu mau bercita-cita itu bagus, Nduk. Kamu bermimpi ke tempat yang jauh juga tak mengapa. Silakan kamu kuliah, tapi Bapak tak mampu memberi kamu sepeser pun. Silakan kamu pergi ke mana pun, tapi Bapak tidak bisa jamin kalau kamu tidak kecewa."

Kemudian beliau menghilang di balik tirai kamarnya, sebagai pengganti pintu yang telah lapuk bertahun lalu.
Aku berdiri tergugu, mencerna ucapan Bapak tadi. Omongan beliau sangat menohok dadaku, tetapi aku justru tersenyum mendengarnya.

Aku telah meluluhkan hati Bapak untuk kedua kalinya.

Aku tak akan kecewa, Pak, gumamku.

”Fri, mau ke mana thok kamu?” Ibu heran menatapiku yang lalu lalang tak karuan sepulang bekerja. Kusambar celengan ayam milikku dan palu milik Bapak tanpa izinnya. Sejurus kemudian, aku sudah mengenakan tas lusuh itu lagi, lengkap dengan topi caping untuk menahan panasnya matahari.

“Ke kantor Pak Ahmad, Bu!” aku bergegas pergi dan menyambar sepeda ontel yang kuparkirkan dekat sawah. Kukayuh pedalnya kuat-kuat, sambil memeluk celengan ayam di antara kedua lengan.
Aku harus cepat sampai ke kantor Pak Ahmad siang ini. Hari ini adalah pendaftaran terakhir masuk universitas. Setelah itu, aku akan memecah celengan ayam ini dan menyetorkannya ke bank sebagai uang pendaftaran.

Sesampainya di kantor kepala desa, aku mengetuk pintu ruang kerja Pak Ahmad, namun tidak ada jawaban. Kuketuk berkali-kali, tetap hasilnya nihil.

“Pak Ahmad lagi ada urusan di luar, Fri,” ujar Pak Kosim, salah satu stafnya, kebetulan melihatku. Seketika lututku lemas. Bersepeda panas-panasan di siang bolong tak bisa mengalahkan kekecewaan yang melanda diriku saat mendengar berita itu. Apakah ini pertanda? Apakah memang seharusnya semua ini tak ada?

“Tapi tadi beliau pesan, kalau ada kamu, langsung masuk aja ke dalem,” lanjutnya yang seketika membuat harapanku muncul lagi. Bayangan kekecewaan segera kutepis. Ternyata Tuhan mengizinkan!

Kepercayaan yang Pak Ahmad berikan kepadaku membuat rasa semangatku semakin memuncak. Sebentar lagi aku akan melanjutkan sekolah! Jakarta, kau akan kedatangan penghuni baru! Sambil menunggu komputer menyala, aku duduk membayangkan betapa nikmatnya dapat mengenyam bangku sekolah lagi setelah setahun ini hal itu terlupakan. Bukan itu saja, bayangan kota besar langsung menari-nari dalam benakku. Kota besar dan orang besar. Aku yakin, orang-orang besar yang tinggal di sana pasti pernah memperoleh pendidikan yang sama dengan yang aku perjuangkan sekarang. Dan untuk menjadi seperti mereka dibutuhkan usaha yang keras. Aku mengingatkan pada diri sendiri, bahwa semua ini hanyalah sebuah awal . . .

Tanpa bisa menunggu, jari-jariku sudah gatal memainkan kursor di komputer Pak Ahmad, mencari-cari nama jurusan yang sudah aku dambakan semenjak dahulu.

Teknologi Pangan.

Teknik Industri Pertanian.

Bapak. Nama itu berputar-putar dalam otakku ketika akhirnya aku mengeklik kedua jurusan dambaan itu. Sesungguhnya nama Bapak-lah satu-satunya motivasiku selama ini mengapa aku sampai membating tulang demi bersekolah. Alat-alat pertanian Bapak yang berpuluh tahun ini Bapak gunakan tak mampu mengolah sawah kami secanggih mesin-mesin modern. Hanya bermodalkan keringat, tenaga, dan keyakinan diri, sampai berpuluh tahun lamanya Bapak bertahan menjadi seorang petani. Seorang petani yang hanya mampu menghidupi anak istrinya selama puluhan tahun ini. Kata Bapak, kami ini adalah korban sistem feodal. Sistem yang membunuh rakyatnya perlahan-lahan dengan keterpurukan. Memiliki tanah, hanya sedikit. Memiliki rumah, kecil. Memiliki uang, hanya cukup untuk mengenyangkan perut anak istri.


Terima kasih. Nomor ujian Anda adalah 2781781B. Silakan melakukan pembayaran pendaftaran sebesar Rp500.000,00 melalui bank ABC dengan nomor rekening 9234019x.


Napasku tertahan. Berhasil. Segera kuraih celengan ayamku dan kupalu dengan kuat sehingga isinya berhamburan. Uang receh yang bertumpuk menyebar ke penjuru arah, membuat kantor Pak Ahmad seketika berantakan.

Kuhitung selembar demi selembar uang yang susah payah kutabung selama setahun ini, berharap lembaran ini akan menjadi pembuka jalan untukku ke depan. Untuk keluar dari sistem yang mematikan kami puluhan tahun lamanya. Aku akan menjadi awal. Aku akan menjadi pembuka jalan agar anak-anakku nanti tak perlu merasakan kepedihan yang sama seperti yang kurasakan.

Koin terakhir berhasil kukumpulkan.

Jumlahnya Rp499.000,00.

Hatiku tertohok. Dadaku sakit. Seribu. Apakah ada koin yang terlewat? Lembaran yang terlewat? Tidak, tidak ada. Aku sudah memastikan bahwa ruangan Pak Ahmad ini sudah bersih dari ceceran uang receh.
Tumpukan uang itu bergetar dalam genggamanku. Harus kucari ke mana uang seribu itu? Meminjam pada Pak Kosim? Atau Pak Ahmad? Atau . . . Bapak sekalian? Aku langsung teringat dan kembali tertampar oleh ucapan Bapak malam itu,

“Silakan kamu kuliah, tapi Bapak tak mampu memberi kamu sepeser pun.”

Mungkin . . . mungkin itu memang benar. Mungkin semua ini memang pertanda. Pesan Bapak dulu. Perginya Pak Ahmad. Uang yang tak mencukupkan. Semuanya memang pertanda bahwa perjuanganku memang harus terhenti sampai di sini.

Mungkin aku harus mencobanya lagi tahun depan, tahun depannya lagi, atau depannya lagi. Kalau tidak, mungkin aku harus menunggu satu generasi lagi untuk keluar dari sistem terkutuk ini. Kalau gagal, coba generasi berikutnya lagi. Tak mengapa, setidaknya aku telah bertahan sampai di titik ini.

Sayang, aku mau kuliah, tapi uangku kurang seribu.